SEJARAH
Haidh atau Menstruasi menurut Etimolog berarti mengalir. Sedangkan secara Terminologi atau Syar’i adalah darah yang keluar dari alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang dari 16 hari (8 tahun 11 bulan 14 hari) dan secara qodrati atau alami, bukan di sebabkan sakit rahim atau melahirkan.[1] Haidh/ Menstruasi merupakan peristiwa keluarnya darah dari uterus yang terjadi pada wanita setiap bulan, karena tidak di buahinya sel telur oleh sel bibit. Peristiwa haidh sangat erat di asosiasikan dengan kedewasaan atau pubertas.[2]
Orang yang haidh di antara suku atau tradisi di sebut dengan macam-macam ungkapan seperti ia telah pergi ke pinggiran desa, ia telah melipat tangannya ke belakang, ia telah memulai kehidupannya, ia telah membunuh gajah, ia telah di kesampingkan.[3] Peristiwa Haidh ini sudah Kodrat yang ditakdirkan oleh Tuhan. Hal ini sesuai dengan hadits yang di riwayatkan Bukhori dan Muslim, Hadza Syaiun katabahullahu ‘ala banati adama. Artinya Ini (haidh) merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan Alloh kepada anak-cucu wanita Adam. Jadi, secara tidak langsung sejarah awal adanya haidh adalah awal adanya perempuan di bumi.
Akan tetapi, banyak entitas yang memandang haidh dengan paradigma stereotype. Menstruasi sering dijadikan alasan untuk melecehkan dan memojokkan perempuan. Tidak sedikit etnis dan dogmatis yang memposisikan perempuan merasa terpasung dan teralienasi bahkan di kucilkan dan di asingkan karena di anggap kotor dan sumber kutukan Tuhan (devine creation). Selain itu, Haidh di konotasikan negative oleh beberapa Agama. Agama Yahudi misalnya, dengan tegas memisahkan perempuan karena perempuan yang haidh di anggap menjijikkan dan konsekuensi yang harus dipikul kaum perempuan. Dewasa itu, zaman pra Islam, orang-orang Yahudi memperlakukan Istrinya bak hewan biaraan. Mereka di usir dari rumah, tidak mau menyentuhnya apalagi mengajak tidur dan makan bersama. Karena dalam Taurat disebutkan “When a woman has now of blood, where blood flows from her body, she shall be niddah for seven days” ketika perempuan telah Haidh, dimana darah telah keluar dari dirinya. Ia harus di Niddah (di Kucilkan) selama tujuh hari.[4]
Selain itu masyarakat Yahudi menganggap haid adalah penebus Dosa akibat dari pelanggaran yang dilakukan Hawa di Taman Syurga (The menstrual cycle is a divine creatin originally given to Eve as a sult of her sin in the Garden of Eden). Haram bagi perempuan haidh sembahyang. Mereka boleh melakukan sembahyang lagi ketika sudah melakukan ritual penyucian diri dengan cara merendamkan diri keair sakral yang disebut dengan Mikveh.[5] Sementara orang Nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya ketika haidh.[6]
Orang Nepal mempunyai kepercayaan bahwa ketika seorang perempuan mengalami fase menstruasi pertamanya dan melahirkan anak pertamanya. Wanita yang sedang melewati dua fase tersebut diyakini bisa membawa nasib buruk kepada keluarga. Karena itu, mereka harus disingkirkan jauh-jauh dari rumah. Ritual pengasingan diri ini disebut Chhaupadi. Mereka yakin bahwa ini adalah perintah Tuhan dan jika tidak di laksanakan tuhan akan marah.[7] Sedangkan Will Durant dalam The History of Civilization (Sejarah Peradaban) tentang kaum Yahudi dan kitab Talmud di Iran Kuno menuliskan: pada Zaman Darwisy kedudukan wanita sangat rendah, ini sangat berbeda ketika zaman Majusi Zeroaster (menyembah api), wanita bias berinteraksi dan bermasyarakat secara leluasa dan wajah tanpa penutup (hijab). Sedangkan di zaman Darwisy, kebiasaan para wanita mengurung diri di dalam rumah ketika sedang haid terus berlangsung sehingga akhirnya aktivitas sosial mereka terhenti dan hal inilah yang kemudian dianggap sebagai penyebab munculnya hijab di kalangan kaum muslimin.[8]
WAKTU HAIDH
Batas minimal haidh adalah sehari semalam (24 jam). Ini sangat jarang sekali, hanya ada satu orang yang perbah aku temui. Dan biasanya menjelang haidh wanita mengalami gangguan kesehatan. Diantaranya. Pegal-pegal, lemah, lesu, perut terasa sakit, PMS/ Dilepen (b. Jawa), gampang emosi/ sensitive, payudara mengencang dan terasa sakit, merasakan pusing dan lain-lain. Sedangkan batas maksimal adalah 15 hari. Dan kebanyakan rata-rata perempuan mengalami haidh adalah selama 10 hari.[9]
Ketika darah berhenti sebelum batas minimal, maka ia cukup membersihkan darah yang keluar dan wudlu jika ingin melaksanakan rutinitas ibadah. Bila ternyata darah keluar lagi, maka saat darah berhenti, ia wajib mandi dengan catatan masa keluar darah pertama dan kedua jumlahnya mencapai batas minimal haidh.[10]
Untuk mengetahui haidh sudah selesai atau belum dengan cara masukkan semisal kapas ke alat kelamin. Ketika tidak ada cairan yang sesuai dengan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan bening), maka di hukumi darah sudah berhenti.[11]
HUKUM MEMPELAJARI ILMU HAIDH
Mempelajari dan mengerti permasalahan Haidh, Nifas dan Istihadloh bagi wanita adalah fardlu ‘ain. Sebab mempelajari hal-hal yang menjadi syarat keabsahan dan batalnya suatu ibadah adalah fardlu ain. Ketika wanita sudah baligh, akan tetapi belum mengerti tentang haidh maka, wajib magi mahromnya untuk mengajarinya. Akan tetapi, ketika mahrom tidak mumpuni tentang hal tersebut, maka wajib bagi wanita keluar rumah untuk mencari guru dan mempelajari hal tersebut. Dan mahrom tidak boleh mencegahnya.[12] Sedangkan bagi laki-laki adalah fardlu kifayah, mengingat permasalahan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan rutinitas ibadah kaum Adam. Mempelajari ilmu tersebut bagi laki-laki untuk menegakkan ajaran agama dan keperluan fatwa. [13]
Dewasa ini, banyak anak-anak perempuan sudah mengalami menstruasi akan tetapi nihil akan keilmuan masalah haidh. Anak-anak perempuan semakin cepat pertumbuhan biologisnya akan tetapi tidak diimbangi dengan perkembangan intelektualnya tentang kewanitaan. Bahkan terkadang ketika awal mengalami menstruasi seorang anak menangis karena takut dan tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Hal ini disebabkan karena banyaknya media yang merangsang anak-anak perempuan lebih cepat untuk dewasa akan tetapi kurangnya kepedulian orang tua untuk mengajarinya sebagai prepare manyambut kedewasaan anak.
HAL-HAL YANG DILARANG KETIKA HAIDH
1) Sholat wajib atau sunnah
Sesuai sabda Rasul “Idza aqbaltil haidhota fa da’iyash sholata”. Artinya: jika kamu (wanita) mengalami haidh, maka tinggalkanlah sholat. (HR. Bukhori). Sholat yang ditinggalkan tidak wajib diganti karena dianggap menyulitkan (masyaqoh). Dan meskipun meninggalkan sholat tapi dengan niat mengikuti perintah Alloh akan tetap mendapatkan pahala.[14]
2) Puasa wajib atau sunnah
Sesuai sabda Nabi “Alaisa idza hadhotil maratu lam tusholli walam tashum”. Artinya : bukankah perempuan ketika mengalami haidh tidak boleh sholat dan puasa? (HR. Bukhori dan Muslim). Akan tetapi beda dengan sholat, hutang puasa wajib diganti karena setshun hanya wajib berpuasa selama satu bulan dan dianggap tidak masyaqoh.
3) Thowaf Wajib atau Sunnah
Rasulullah bersabda, dari Aisyah RA berkata : ketika kami sampai di Sarif saya mengalami haid. Maka Nabi SAW bersabda : lakukanlah semua hal yang harus dilakukan orang yang haji, tetapi engkau tidak boleh thowaf ke Baithullah sehingga engkau Suci dari Haidh. (HR. Bukhori dan Muslim).
4) Membaca Al-Qur’an
Sabda Rasul “la yaqroul junubu walal haidhu syaian minal qur’ani”. Artinya : tidak diperbolehkan bagi orang yang junub dan wanita haidh membaca suatu ayat dalam alqur’an.(HR. Turmudzi). Akan tetapi hukum haram menjadi boleh ketika membaca ayat Al-qur’an diniati Dzikir atau berdoa.[15]
5) Menyentuh dan Membawa Al-Qur’an
Dalam surat Waqi’ah ayat 77 – 80 disebutkan “sesungguhnya Al-qur’an ini adalah bacaan yang mulia, pada kitab yang terpelihara, tidak boleh menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan dari Tuhan semesta alam”. Hokum tidak bolehpun berlaku ketika menyentuh atau membawa sesuatu yang ditulisi lafadz Al-Qur’an dengan tujuan dibaca. Kecuali tuliasan atau Al-Qur’an tersebut ditafsiri, dan tafsirannya lebih banyak dari ayatnya maka hukumnya boleh. Dan apabila Al-Qur’an dibawa dengan barang lain, semisal didalam tas dan tidak bertujuan membawa Al-Qur’an, maka hukumnya juga boleh.[16]
6) Bersenggama
Sesuai Firman Alloh dalam surat Al-Baqarah ayat 222 “Fa’tazilun nisa’a fil mahidh, walataqrobuhunna hatta yathurna”. Artinya : oleh sebab itu, hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Hal ini di perjelas hadits Nabi yang artinya : Muadz bin Jabal bertanya kepada Nabi “apa yang halal dilakukan suami pada istri yang haidh?” Rasulullah menjawab : “bersentuhan kulit pada selain anggota antara lutut dan pusar. (HR. Abu Daud). Dalam ayat di atas memakai kata “Mahidh” yang kalau dilihat dari segi etimologinya adalah kalimat masdar (Gerund) atau isim Zaman (menunjukkan waktu) dan Isim makan (menunjukkan tempat). Hemat saya, maksudul a’dhom yang paling dekat untuk mencapai arti sebenarnya adalah menggunakan isim makan, karena yang diharamkan bagi orang yang haidh adalah tempat keluarnya darah haidh tersebut, bukan yang lain.
Bersenggama ketika Haidh sangat dilarang karena dalam keadaan haid alat kelamin wanita mengalami kongesti yaitu pendarahan yang berlebihan yg mengalir keluar. Kongesti menyebabkan mudah terjadinya infeksi. Dalam keadaan seperti itu jika terjadi persenggamaan akan memperbanyak pendarahan dari timbulnya infeksi yg lebih parah. Hal ini akan membahayakan perempuan, bahkan bisa memmbahayakan suami. Bagi suami dapat menyebabkan iritasi pada penis akibat sekresi (penggetahan) darah haid yg masuk pipa saluran kencing. Secara medispun seirama dengan teori diatas, larangan menyenggamai istri ketika haid juga sangat beralasanan menyebutkan vagina memiliki suatu zat yg dapat melindunginya dari infeksi. Pada saat wanita sedang haid, sisitem pelindungan itu melemah. Dalam kondisi demikian besar kemungkinan suami memasukkan bakteri kedalam vagina. Akibatnya bias menimbulkan peradangan pada vaginitas.[17] Dan tidak jarang ketika perempuan sedang rambu-rambu merah, tapi tetap saja diterobos oleh suami, yang terjadi pada anaknya adalah catat. Makanya, ketika istri mengalami haidh, suami sangat dianjurkan untuk berpuasa, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. Tapi pertanyaannya adalah Masak Puasa tidak berhubungan intim maksimal 15 hari saja tidak tahan?. ^_^
* ditulis karena terinspirasi dari pertanyaan teman.
[1] Imam Asy-Syafi’I, Al-Um Jilid 1 h. 55
[2] Muhammad Sholihin, Ritual Dan Tradisi Islam Jawa (Jogjakarta: Narasi 2010)h. 239
[3] Jeanne becher . Perempuan Agama dan Seksualitas (Jakarta: Gunung Mulia, 2004)h. 188
[4] Lisa Alken, To be a Jewish Women (Northvale, London: Jason Aronson,1992),h. 159.
[5] Ibid, h. 164-165.
[6] Ash-Shon’ani, Subulussalam juz 2, h. 104.
[7] Republica.co.id. Sabtu, 31 Desember 2011
[8] Will Durant, The History of Civilization, Jilid 1 h. 552.
[9] Hasil observasi
[10] Asy-Syirazy, Al-Muhadzab juz I, h. 38
[11] Wahbah Zuhaily, fiqh al-Islam wa adillatihi juz I, h. 458.
[12] Abu Bakar Al-Masyhur, Hasiyah I’anah al-tholibin juz IV h. 80
[13] Az-Zarnujiy, Ta’lim al-mutaallim, h. 4
[14] Imam Syihabuddin, Al-Qulyubi juz I, h. 100
[16] Zainuddin Al-Malaibary, Fath al-Mu’in juz 1 h. 65
[17] zaka al farisi, When I love. Menuju sukses hubungan suami istri,(Jakarta: gema Insani, 2008) h. 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar