Rabu, 04 Januari 2012

ESENSI EKSISTENSI MANUSIA

Kata Eksistensi digunakan dalam arti umum adalah untuk menandakan “apa yang ada”[1]. Bryan Magee dalam The Story of Philosophy menjelaskan  teori Eksistensi versi Haidegger yg di breafing langsung oleh Husserl. Yaitu keserasian eksplanasi antara Husserl dengan Decrates bahwa bagi tiap-tiap individu ada hal yang tidak diragukan lagi yakni kesadaran dirinya sendiri.

Belajar dari  statement tersebut kemudian Haidegger membuat karya fenomenalnya dengan pendekatan analisis Fenomelogi, berjudul Sein und Zeit (Being and Time) artinya aku dan waktu, diterbitkan pada tahun 1927  menjelaskan bahwa kita tidak akan menyadari eksisitensi kita sendiri jika tidak ada suatu lahan kesadaran, suatu tempat, suatu panorama, suatu dunia agar kesadaran itu terjadi di dalamnya. Maka, ada kita secara esensial adalah duniawi.
Kemudian dari pernyataan Husserl tersebut Sartre mengklasifikasikan kesadaran manusia menjadi tiga. Pertama, kesadaran bersifat spontan. Artinya, ia dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain. Ia menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut. Artinya, kesadaran tidak menjadi objek bagi sesuatu yang lain. Ketiga, kesadaran bersifat transparan. Artinya, kesadaran mampu menyadari dirinya. Kesadaran diri merupakan eksistensi manusia yang membedakannya dengan eksistensi benda-benda. Manusia mempunyai kemampuan menyadari dirinya. Dunia benda-benda membantu dalam pencapaian kesadaran diri manusia. Tanpa adanya benda-benda (etre-en-soi), maka kesadaran diri manusia tidak mungkin tercapai.[2]
Secara Etimologi, Tafsir menjelaskan dalam pandangan historisnya bahwa kata dasar Eksistensi (existensy) adalah exist yang berasal dari kata latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Dalam bahasa Jerman disebut Dasein. Da berarti disana (menunjukkan arah dan tempat), sein berarti berada.[3] Jadi, eksistensi manusia adalah berada dalam suatu tempat atas dasar kesadaran yang memposisikan ia sebagai other. Manusia itu dikatakan exis ketika kesadarannya terbentuk untuk merepresentasikan dirinya sendiri dalam menyikapi keadaan yang ada.
Dalam Being and Nothingness Sartre mengklasifikasikan keber”ada”an melalui paradigm ontologi radikalnya dengan oposisi biner di dalamnya—essay on phenomenological ontology. Oposisi biner tersebut tampak melalui pembagian Sartre akan segala hal menjadi etre en soiberada dalam dirinya dan etre pour soi berada bagi dirinya. Menurut Sartre, etre en soi adalah segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, tak mampu menyusun tujuan hidupnya sendiri, tujuan keberadaannya sepenuhnya ditentukan oleh eksistensi lain. Etre en soi dapat dimisalkan dengan sebuah batu, meja dan sebagainya.[4] Namun demikian, meskipun etre en soi tak memiliki kesadaran tetapi wujudnya nyata dan sempurna, sempurna sebagai batu, meja dan sebagainya. Sedangkan posisi  etre pour soi adalah manusia yang abstrak akan entitasnya dan menjadi apa. Karena Eksistensi manusia mendahului Esensi.[5]
Maksud dari Eksistensi mendahului Esensi adalah manusia akan mencapai Esensinya (tujuan hidup/ cita-citanya) tergantung dari Eksisitensinya (Proses/ usahanya) di dunia. Hal ini seirama dengan Firman Tuhan dalam Surat Al Ra’d ayat 11 yang berbunyi : Innallaha la yughoyyiru ma bi qoumin, hatta yughoyyiru ma bi anfusihim
Terjemahnya : Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Bicara masalah kesadaran, Sartre membaginya dalam dua bentuk yakni “kesadaran reflektif” dan “kesadaran nonreflektif”. Kesadaran reflektif adalah kesadaran akan eksistensi dan kehadiran diri, sedangkan kesadaran nonreflektif adalah kesadaran akan eksistensi berikut kehadiran individu atau objek lain.[6] Bagi Sartre, kesadaran pastilah “dikotomis”, tidak akan di jumpai persekutuan antara reflektif dan non reflektif.
Secara subtansial, Penjelasan di atas menyebutkan bahwa eksistensi entitas terbentuk dari kesadaran keberadaannya. Sedangkan yang bisa merepresentasikan sebuah kesadaran adalah manusia sebagai subjektivitas sentral dan entitas lainnya adalah objek. Manusia lebih tinggi derajatnya dari pada entitas lainnya karena manusia mempunyai kesadaran dan tidak memiliki kodrat esensitas kodrati. Dengan kata lain bahwa manusia adalah entitas tertinggi dari entitas lainnya karena kesadarannya yang dipacu oleh logikanya. Statement ini membenarkan wahyu Alloh SWT atas penciptaan manusia dalam surat At-Tin ayat 4  yang berbunyi : Laqad kholaqnal insana fi ahsani taqwim.
Terjemahnya: Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.(QS. At-Tin: 4)
Manusia disebut Ahsani Taqwim karena manusia di anugrahi supremasi knowledge melalui kesadaran berfikirnya. Maka, eksistensi manusia itu nihil/nothing ketika tidak mau  berfikir untuk menyikapi keadaan yang ada. Sehingga dalam Ta’limul muta’allim Hasan bin Ali menyairkan : “Fajahiluna famauta qabla mautihim” [7] orang-orang yang bodoh (tidak mau menggunakan akalnya untuk brfikir) adalah orang-orang yang mati sebelum mereka mati.
Belajar dari teori Eksistensialisme tersebut, jika dikontekkan dengan kelompok ideology tertentu, hendaknya dapat meimprovikasikan dirinya sebagai makhluk sosial, saling melengkapi, menjalin kerukunan dan membantu satu sama lain, sebagai wujud Hablum minan nas, penanaman nilai Rohmatan lil ‘Alamin dan benar – benar mefungsikan dirinya sebagai Kholifah Fil ardl. Bukan malah membuat khilafah yang menjadi embrio perpecahan antar golongan, mengkafirkan satu sama lain, budaya  alienasi dan differensiasi kelompok besar terhadap minoritas dan menganggap ideologinya yang paling benar. Karena Tuhan tidak pernah mendeklarasikan kelompok mana yang paling benar di antara 73 golongan islam seperti prediksi Rasulullah dalam haditsnya yang di wirayatkan Turmuzy.


[1] Theo Huijberrs, Filsafat Hukum ( Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 51.

[2] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta : Jalasutra, 2006), h. 165
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 218
[4] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness ( New York: Philosophical Library, 1956,), h.74
[5] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 40-41
[6] Donald D. Palmer, Sartre Untuk Pemula (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 38-39.
[7] Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim (Surabaya: Darul An-nasr AlMishriyah, t.t), h. 25.

1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site - Lucky Club Live
    Lucky Club Casino is the luckyclub official gambling site of Lucky Club. Live Slots and Live Table Games. Experience the excitement of Vegas at the L.A. Lucky Club.

    BalasHapus