Senin, 02 Januari 2012

PENDIDIKAN PUN DI PAKSA BERKELAMIN

         Keilmuan kaum perempuan, ketokohan kaum perempuan, ulama perempuan hampir-hampir ditenggelamkan oleh zaman dan budaya berabad-abad lamanya. Hak-haknya terpasung, terpenggal dari sejarah peradaban, seiring dengan terpenggalnya hak-hak perempuan, padahal dibalik itu peradaban dunia terus berkembang serta keilmuan orang Islam sangat diperlukan untuk membawa Islam  dalam ranah kekinian. Banyak factor yang menyebabkan seorang perempuan hidup dalam keterpasungan yang hanya dapat swarga nunut neroko katut (istilah Jawa).
Beberapa faktor yang menyebabkan perempuan dalam keterpasungan, diantaranya:
1.     Pemahaman dalil agama yang hanya secara tekstualis tanpa memahami dari sisi kontekstualnya, misalnya tentang kewajiban–kewajiban istri yang harus selalu menuruti suami karena dalil ridlo tuhan ada pada ridlo suami, sehingga seorang perempuan untuk urusan yang sangat penting misalnya mencari ilmupun tergantung atas izin suami walaupun itu menyangkut hal yang paling spesifik dalam diri perempuan, juga pemahaman mengenai dalil arrijalu qowamuna alan nisa’, dipahami secara mutlak, bahwa laki-laki adalah pimpinan perempuan, sehingga konsekwensinya perempuan hanya jadi pelayan bagi laki-laki, sementara haknya sebagai manusia terabaikan. Banyak lagi penerapan dalil agama yang menjadikan perempuan seolah-olah sebagai makhluk nimor dua di bawah laki-laki, padahal bila dicermati hal itu bertentangna dengan misi kenabian yang diemban rosullulah untuk memperjuangkan persamaan hak diantara manusia termasuk perempuan sebagai mana firman Tuhan  Wama Arsalnaka Illa Rohmatal lil alamin “dan Allah tidak mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.
Berkaitan dengan ayat tersebut di atas. Moch Abu Zahrah menegaskan, bahwa rahmat untuk seluruh alam menuntut adanya syari’at yang memperhatikan kemaslahatan manusia.[1]
2.     Budaya dan tardisi yang memepengaruhi terkungkungnya wacana keilmuan perempuan.. Perempuan dari masa ke masa selalu ditradisikan sebagai makhluk inferior (lemah), sedangkan laki-laki adalah superior, sehingga karena diposisikan sebagai makhluk yang lemah dan tertindas akhirnya selalu menjadi obyek diskriminasi dan keitdak adilan. Perempuan adalah subordinasi atau orang kedua dalam segala hal setelah laki-laki, dalam arti diletak di bawah atau diposisikan dalam sebuah posisi yang inferior terhadap orang lain, atau menjadi tunduk kepada orang lain.[2]
3.     Pelabelan jelek (seterylo tape) pada perempuan sebagai pembawa sial  ataupun sebagi biang kejahatan, dan sebagainya, sebagai contoh ungkapan Aristoteles bahwa perempuan adalah laki-laki yang bunting dan keberanian laki-laki ditunjukan dalam kepemimpinan, sedangkan perempuan dalam kepatuhan[3], ataupun ungkapan yang mengatakan bahwa perempuan adalah tali setan
4.     Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, laki-laki berperan di ranah public sementar perempuan berperan di ranah domestic (rumah). Contoh kecil saja ketika seorang anak sedang duduk di bangku Taman Kanak - kanak, sering kita mendengarkan seorang guru mengajarkan dengan istilah “Bapak pergi ke kantor ibu pergi ke pasar”. Doctrinal ini adalah proses internalisasi nilai – nilai budaya dan pendidikan  yang dapat mempengaruhi karakteristik anak didik. Pendidikan dan budaya cenderung  senantiasa  memaksa perempuan agar senantiasa hidup dalam kelembutan dan kelemahan. Tentu saja dengan pembagian peran pada wilayah domestic perempuan menjadi terkungkung dengn budaya harus di rumah dan harus bertugas mengurus rumah tangga dan tentu saja dengan pembagian peran public akan membuka horizon dan kesmpatan bagi kaum lelaki untuk berkiprah lebih dari perempuan, dan dampaknya ketika perempuan ingin berkiprah di public harus menyelesaikan dulu peran domesticnya, dengan kata lain harus berperan ganda, dan tentu saja ini sangat mempengaruhi kesempatan dan akses perempuna untuk bisa mengembangkan diri secara maksimal termasuk juga untuk menjadi ulama perempuan.
5.     Kurangnya akses keilmuan bagi kaum perempuan juga menjadi halangan bagi ulama perempuan. Selain itu, di batasinya Perempuan untuk mengakses ilmu ke jenjang yang lebih tinggi. Contoh kecil, kita sering mendengarkan orang tua yang sempit wawasannya mengatakan “buat apa anak perempuan sekolah tinggi – tinggi, paling – paling juga akhirnya di dapur”. Dengan tidak langsung setatement tersebut dapat mematahkan semangat perempuan yang ingin lebih dalam lagi mempelajari keahlian sesuai dengan vaknya. Sudah sejak dulu proses pendidikan perempuan selalu dikaitkan dengan perannya ketika sudah menjadi seorang istri, yang menurut masyarakat tugasnya hanyalah mengursi anak dan suami, sehingga asumsi yang timbul dalam benak setiap orang tua terhadap anak perempuan buat apa sekolah tinggi kalau pada akhirnya kembali ke dapur juga. Tradisi ini sudah bertahun-tahun mengakar dengan kuat dimasyarakat.walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengadakan perubahan tapi hasilnya belum juga bisa maksimal. Dalam pondok pesantren sendiri yang merupakan centra keilmuan Islam, perempuan tidak disamakan dengan santri laki-laki dalam hal pengkajian kitab kuning. Kebanyakan perempuan hanya dibatasi pada kajian kitab rendah dan pada pokok-pakoknya saja, atau kadang-kadang yang berkaitan dengan kajian keperempuanan, misalnya kajian tentang haid, nifas, ataupun tentang kitab-kitab yang berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu yang didevinisikan sebagai mar’atus sholikah dengan selalu menurut pada suami, dengan dasar  Wal Maratu roiyatun ‘ala baiti zaujiha “Perempuan adalah pemimpin yang bertanggung jawab mengurusi rimah suaminya”. Jadi aktifitas perempuan hanyalah terbatas pada mengasuh anak-anak di rumah suamiya.[4]
6.     Penguburan sejarah tentang ilmuwan Islam, dimana pada masa-masa awal kebangkitan dan masa keemasan Islam banyak perempuan berperan dalam khasanah perkembangannya, dan sejarah tentang keilmuan para perempuan itu seakan-akan terkubur dan tidak banyak dipublikasikan. Yang dipublikasikan dalam masalah perempuan hanyalah masalah tentang kewajibannya .  penguburan sejarah ini seakan-akan adalah sebuah kecelakaan sejarah, karena umat Islam khususnya kaum prempuan menjadi tidak tahu sejarah dan figure pada ilmuwan perempuan, sehingga seakan-akan tidakada motivasi bagi perempuan untuk meniru jejak langkah pendalunya.



[1] Moch Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, (Kairo: Darul al fikr), 307
[2] Kamla Bashin, Memahami Gender,(Jakarta:Teplok Press,2007), 63
[3]Kamla, Memahami Gender,(Jakarta:Teplok Press,2007), 13
[4] Abdul Mun’im Ibrahim, Mendidik Anak Perempuan, (Jakarta: Gema Insani, 2005),172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar