Kamis, 24 Oktober 2013

SYIRKAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia tidak dapat hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran Islam mengajarkan agar kita menjalin kerjasama dengan siapapun terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong-menolong dan saling menguntungkan (mutualisme), tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa kerjasama maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan juga dalam kehidupan ini kita di diharuskan utuk mempelajari masalah tentang Fiqih, di dalam Ilmu Fiqih terdapat banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan di dunia ini, di antaranya yang kami bahas ini yaitu tentang “Syirkah”.
Syirkah pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja sama sesuai prinsip di atas. Kami memilih materi ini karena menurut kami penting untuk di pelajari dalam kehidupan sehari-hari agar tidak salah dalam melangkah (ber-mu’amalah). Syirkah adalah salah satu hukum yang mempelajari tentang perkongsian atau kerjasa antara dua orang atau lebih dengan maksud dan tujuan yang sama agar tercipta keharmonisan dalam kerjasamanya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 


    1 .      Apa pengertian syirkah ?
    2 .      Apa dalil/landasan syirkah ?
    3 .      Apa saja rukun dan syarat-syarat syirkah
    4 .      Ada beberapa macam-macam syirkah itu dan bagaiman hukumnya ?
    5 .      Apa saja yang membatalkan syirkah

C. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
    1 .      Mengetahui pengertian syirkah
    2 .      Mengetahui Dalil yang berkenaan dengan syirkah
    3 .      Mengetahui Rukun dan syarat-syarat syirkah
    4 .      Mengetahui macam-macam syirkah dan Hukumnya
    5 .      Mengetahui hal-hal yang membatalkan syirkah


 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il madli), yasyroku (fi’il mudlari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar) artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshoh).
Syirkah menurut bahasa (etimologi) adalah ikhthilath ( berbaur/percampuran) dan persekutuan, yaitu, percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Adapun menurut istilah (terminologi) syirkah/kongsi ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang di dorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa sengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan.[1] Sedangkan definisi lain artinya suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih yang menghendaki tetapnya bersama dalam usaha atau perdagangan, Artinya dua orang atau lebih berserikat di dalam jumlah harta yang tertentu, guna memperoleh keuntungan bagi mereka bersama.[2]
Menurut Ulama Malikiah yaitu Izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yaitu penetapan hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Menurut ulama Hanafiah yaitu Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
Syirkah juga merupakan salah satu Mu’amalat dalam Islam yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama manusia untuk memenuhi keperluanya sehari-hari. Implikasinya adalah syirkah merupakan suatu perjanjian kerja sama yang terdiri atas dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dengan konsekuensi keuntungan dan kerugian ditanggung secara bersama.

B. Dalil/Landasan Syirkah
Dalil/Landasan syirkah terdapat dalam Al-Qur’an,  Al- Hadits dan Ijma’
a). Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar umat Islam saling tolong-menolong dalam berbuat kebaikan, seperti dalam beberapa ayat di bawah ini dapat dijadikan dasar hukum syirkah, karena syirkah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah tolong menolong berbuat kebaikan dalam hal penghidupan.
Surah Al-Maidah ayat 2 telah di jelaskan : Saling bertolong-tolonglah kamu dalam berbuat baik dan taqwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dalam ayat di atas sudah di jelaskan bahwa kerjasama merupakan bentuk tolong-menolong dalam perbuatan baik yang di perintahkan dalam Agama selama kerjasama itu tidak dalam perbuatan dosa ataupun permusuhan.
Dalam ayat lain di jelaskan Artinya : “Dan sesungguhnya dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini” ( Q.S. Shaad : 24 )
b). Al- Hadits
Dalam hadits Rosulullah SAW juga di jelaskan : Artinya : Dari ’Abdulloh bin Mas’ud, ia berkata : Saya dan ’Ammar dan Sa’d bersekutu pada apa-apa (rampasan ) yang kita akan dapat di hari ( peperangan ) Badar. ( H.R. Nasa’i ).[3] Sedangkan dalam hadits lain juga di jelaskan : Artinya : Dari Saib bahwa ia berkata kepada Nabi Muhammad SAW ” Engkau pernah menjadi kongsiku pada (zaman ) jahiliyah, ( ketika itu ) engkau adalah kongsiku yang paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku”.[4]
Legalitas syirkahpun diperkuat, ketika Nabi diutus, masyarakat sedang melakukan syirkah. Beliau bersabda : “Kekuasaan Allah senantiasa berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya tidak berkhianat.” (HR. Bukhari Muslim).

c). Al-Ijma’
Ulama’ Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat (khilaf) tentang jenisnya.
Implikasinya syirkah hukumnya adalah jaiz (mubah/boleh) berdasarkan dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Al-Hadits yang berupa Taqrir (pengakuan/penetapan) beliau terhadap syirkah dan konsensus Ulama’.

C. Rukun Dan Syarat Syirkah
Rukun Syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung.
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1.    Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat.
2.    Dua pihak yang berakad (‘aqidani), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) dalam melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
3.    Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qud ‘alaih, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal).[5]
Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Dan menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
Syarat Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah. Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah itu batal.
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1.    Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli.
2.    Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarik (mitra usaha)[6]

D. Macam-Macam Syirkah Dan Hukumnya
Syirkah terbagi atas dua macam yaitu :
1.    Syirkah Al-Amlak (perserikatan dalam pemilikan/kepemilikan)
2.    Syirkah Al-“Uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad/kontrak)
o  SYIRKAH AL-AMLAK
Menurut Sayyid Sabiq, syirkah al-amlak adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa didahului aqad, baik bersifat ikhtiari atau jabari. Syirkah al-amlak terbagi dua :
a)    Ikhtiari (perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat,
b)   Ijabari (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), seperti harta warisan, menjadi milik bersama orang-orang yang berhak menerima warisan.

o  SYIRKAH AL-‘UQUD
Akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya.
Syirkah al-‘uqud terbagi menjadi lima :
1)   Syirkah al-‘inan, yaitu syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat.[7] Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal.
2)   Syirkah Abdan/A’mal, konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya).[8] Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal.[9] Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya boleh. Ulama Malikiyah mengajukan syarat, yaitu bahwa kerja yang dilakukan harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing. Menurut ulama Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah, perserikatan seperti ini hukumnya tidak sah.
3)   Syirkah al-Mudharabah, syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl).[10] Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh.[11] Hukum syirkah ini adalah jaiz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrir Nabi SAW) dan Ijma Sahabat[12]
4)   Syirkah Wujuh, serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungannya dibagi bersama. Mirip seperti kerja makelar barang, bukan makelar kasus (markus). Ulama Hanafiah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah menyatakan tidak sah dan tidak dibolehkan, karena modal dan kerja dalam perserikatan ini tidak jelas.
5)   Syirkah Mufawadhah, perserikatan dua orang atau lebih pada suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama pula. Jika mendapat keuntungan dibagi rata, dan jika berbeda tidak sah. Masing-masing pihak hanya boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari pihak lain (sebagai wakilnya), jika tidak, maka transaksi itu tidak sah. Ulama Hanafiah dan Zaidiyah boleh. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh. Tetapi mereka membolehkan Mufawadhah seperti pandangan Malikiyah, yaitu boleh mufawadhah jika masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya.

E. Hal-Hal Yang Membatalkan Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah terbagi menjadi dua hal. Ada yang membatalkan secara umum dan ada pula yang membatalkan sebagian yang lain.
1. Pembatalan Syirkah Secara Umum
a.       Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu
b.      Meninggalnya salah seorang yang syarik
c.       Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika berperang
d.      Gila
e.       Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta
2. Pembatalan Secara Khusus
a.       Harta syirkah rusak
b.      Tidak ada kesamaan modal
c.       Modal syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
o  Syirkah, menurut etimologi, adalah ikhthilath (berbaur/percampuran). Adapun menurut terminologi syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan
o  Syikah adalah kerjasama dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberi kontribusi dana atau modal/amal dengan kesepakatan bahwa keuntunmgan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan
o  Syirkah hukumnya ja’iz (mubah), berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an (QS. Al-Maidah : 2; Al-Shaad : 24), Hadits Nabi SAW yang berupa taqrir (pengakuan) beliau terhadap syirkah dan juga konsensus ulama’.
o  Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu: Ijab-Qabul, ‘Aqidani, Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qud ‘alaih. Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu Obyek akadnya berupa tasharruf, Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah).
o  Syirkah terbagi menjadi 2 macam (al-amlak, al-uqud), al-amlak terbagi menjadi 2 macam, sedangkan al-uqud terbagi menjadi 5 macam.
o  Pembatalan syirkah ada yang secara khusus dan umum.

B. Saran
Dengan mengetahui rukun dan syarat syirkah diharapkan agar kita semua tidak seenaknya dalam melaksanakan muamalah dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh keuntungan yang sebaik-baiknya. Sehingga menimbulkan hikmah adanya saling tolong-menolong, saling membantu dalam kebaikan, menjauhi sifat egoisme, menumbuhkan saling percaya, menyadari kelemahan dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam usaha jika tidak berkhianat.



DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
 Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.
 Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
 —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.
 Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
 Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
 Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.
‘Azhim, ’Abdul, Al-Wajiz fi Sunnah Wal Kitabil ’Aziz, Jakarta : As-Sunnah, 2008.
Al-Hafizh, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2007.
Al-Hassan, Terjemahan Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2006.
Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.
Sulaiman H. Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2008
Rifa’i, M, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1978
Zulhaili, Wahbah, Fiqh Imam Syafi’i, Jakarta : Almahira, 2010



[1] Abdul Azhim, 2008, hal.687
[2] Moh. Rifa’i, 1978, hal.421
[3] Al-Hassan, 2006, hal.391
[4] Shahih Ibnu Majah no : 1853, Ibnu Majah II : 768 no : 2287.  Abdul ’Azhim, 2008, hal.588
[5] Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13
[6] An-Nabhani, 1990: 146
[7] An-Nabhani, 1990, hal.148
[8] Ibid, Hal.150
[9] Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35
[10] An-Nabhani, 1990: 152
[11] Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836
[12] An-Nabhani, 1990: 153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar