Buat nomor Maulud ini Redaksi “Panji Islam” minta kepada saya supaya saya menulis satu artikel tentang: “Nabi
Muhammad sebagai Pembangun Masyarakat!” Permintaan redaksi itu saya
penuhi dengan segala kesenangan hati. Tetapi dengan sengaja saya memakai
titel yang lain daripada yang dimintanya itu, yakni untuk memusatkan
perhatian pembaca kepada pokoknya saya punya uraian nanti.
Nabi
Muhammad memang salah seorang pembangun masyarakat yang
maha-maha-haibat. Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masyarakat
abad ketujuh Masehi itu tidak sama dengan masyarakat abad keduapuluh
yang sekarang ini.
Hukum-hukum diadakan oleh Nabi
Muhammad untuk membangunkan dan memeliharakan masyarakat itu,
tertulislah di dalam Qur’an dan Sunah (Hadits). Hurufnya Qur’an dan
Hadits itu tidak berobah, sebagai juga tiap-tiap huruf yang sudah
tertulis satu kali: buat hurufnya Qur’an dan Sunah malahan “teguh
selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas”.
Tetapi
masyarakat selalu berobah, masyarakat selalu ber-evolusi. Sayang sekali
ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, – sebab
umpamanya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidaklah selalu ada
konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya
memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Qur’an dan Sunah itu, dan
tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang
terangkat dari air, setengah mati megap-megap!
Nabi
Muhammad punya pekerjaan yang maha-maha-haibat itu bolehlah kita
bahagikan menjadi dua bahagian: bahagian sebelum hijrah, dan bahagian
sesudah hijrah.
Bahagian yang sebelum hijrah itu
adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahannya
masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak: yakni
orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya,
yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang mulia perangainya. Hampir
semua ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan di Mekkah itu adalah mengandung
ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid, percaya kepada Allah yang
Esa dan Maha-Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral,
keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada si miskin, berani
kepada kebenaran, takut kepada azabnya neraka, lazatnya ganjaran
syurga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat menjadi kehidupan
manusia umurnnya, dan pandemen rohaninya perjoangan serta masyarakat di
Madinah kelak.
Sembilanpuluh dua daripada seratus
empatbelas surat, – hampir dua pertiga Qur’an – adalah berisi ayat-ayat
Mekkah itu. Orang-orang yang dididik oleh Muhammad dengan ayat-ayat
serta dengan sunah dan teladannya pula, menjadilah orang-orang yang
tahan-uji, yang gilang-gemilang imannya serta akhlaknya, yang
seakan-akan mutiara dikala damai, tetapi seakan-akan dinamit di masa
berjoang. Orang-orang inilah yang menjadi material-pokok bagi Muhammad
untuk menyusun Ia punya masyarakat kelak dan Ia punya perjoangan kelak.
Maka
datanglah kemudian periode Madinah. Datanglah kemudian periodenya
perjoangan-perjoangan dengan kaum Yahudi, perjoangan dengan kaum Mekkah.
Datanglah saatnya Ia menggerakkan material itu, – ditambah dengan
material baru, antaranya kaum Ansar mendinamiskan material itu ke alam
perjoangan dan kemasyarakatan yang teratur. Bahan-bahan rohani yang Ia
timbun-timbunkan di dalam dadanya kaum Muhajirin, kaum Ansar serta
kaum-Islam baru itu, dengan satu kali perintah sahaja yang keluar dari
mulutnya yang Mulia itu, menjadilah menyala-nyala berkobar-kobar
menyinari seluruh dunia Arab.
“Pasir di padang-padang-pasir Arabia yang terik dan luas itu, yang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonyong-konyong menjadilah ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia”, – begitulah kira-kira perkataan pujangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia membicarakan Muhammad.
Ya,
pasir yang mati menjadi mesiu yang hidup, mesiu yang dapat meledak.
Tetapi mesiu ini bukanlah mesiu untuk membinasakan dan menghancurkan
sahaja, tidak untuk meleburkan sahaja perlawanannya orang yang kendati
diperingatkan berulang-ulang, sengaja masih znendurhaka kepada Allah
dan mau membinasakan agama Allah. Mesiu ini jugalah mesiu yang boleh
dipakai untuk mengadakan, mesiu yang boleh dipakai untuk scheppend-werk,
sebagai dinamit di zaman sekarang bukan sahaja boleh dipakai untuk
musuh, tetapi juga untuk membuat jalan biasa, jalan kereta-api, jalan
irigasi,- jalannya keselamatan dan kemakmuran. Mesiu ini bukanlah
sahaja mesiu perang tetapi juga mesiu kesejahteraan.
Di
Madinah itulah Muhammad mulai menyusun Ia punya masyarakat dengan
tuntunan Ilahi yang selalu menuntun kepadanya. Di Madinah itulah
turunnya kebanyakannya “ayat-ayat masyarakat” yang mengisi sepertiga
lagi dari kitab Qur’an. Di Madinah itu banyak sekali dari Ia punya sunah
bersifat “sunah-kemasyarakatan”, yang mengasih petunjuk ditentang
urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat.
Di
Madinah itu Muhammad menyusun satu kekuasaan “negara”, yang membuat
orang jahat menjadi takut menyerang kepadaNya, dan membuat orang balk
menjadi gemar bersatu kepadaNya. Ayat-ayat tentang zakat, sebagai
semacam payak untuk membelanjai negara, ayat-ayat merobah qiblah dari
Baitulmuqaddis ke Mekkah, ayat-ayat tentang hukum-hukumnya perang,
ayat-ayat tentang pendirian manusia terhadap kepada manusia yang lain, ayat-ayat yang demikian itulah umumnya sifat ayat-ayat Madinah itu.
Di
Mekkah turunlah terutama sekali ayat-ayat iman, di Madinah ayat-ayat
mengamalkan itu iman. Di Mekkah diatur perhubungan manusia dengan Allah,
di Madinah perhubungan manusia dengan manusia sesamanya. Di Mekkah
dijanjikan kemenangan orang yang beriman, di Madina dibuktikan
kemenangan orang yang beriman.
Tetapi tidak periode
dua ini terpisah sama sekali sifatnya satu dengan lain, tidak dua
periode ini sama sekali tiada “penyerupaan” satu kepada yang lain. Di
Mekkah adalah turun pula ayat-ayat iman. Tetapi bolehlah kita sebagai
garis-umum mengatakan: Mekkah adalah persediaan masyarakat, Madinah
adalah pelaksanaan masyarakat itu.
Itu semua
terjadi di dalam kabutnya zaman yang purbakala. Hampir empatbelas kali
seratus tahun memisahkan zaman itu dengan zaman kita sekarang ini.
Ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad di Madinah itu
sudahlah dihimpunkan oleh Sayidina Usman bersama-sama
ayat-ayat yang lain menjadi kitab yang tidak lapuk di hujan, tidak
lekang di panas, sehingga sampai sekarang masihlah kita kenali dia presis sebagai
keadaannya yang asli. Syari’at yang termaktub di dalam ayat-ayat serta
sunah-sunah Nabi itu, syari’at itu diterimakanlah oleh
angkatan-angkatan dahulu kepada angkatan-angkatan sekarang,
turun-temurun, bapak kepada anak, anak kepada anaknya lagi. Syari’at ini
menjadilah satu kumpulan hukum, yang tidak sahaja mengatur masyarakat
padang pasir di kota Jatrib empatbelas abad yang lalu, tetapi
menjadilah satu kumpulan hukum yang musti mengatur kita punya masyarakat
di zaman sekarang.
Maka konflik datanglah!
Konflik antara masyarakat itu sendiri dengan pengertian manusia tentang
syari’at itu. Konflik antara masyarakat yang selalu berganti corak,
dengan pengertian manusia yang beku. Semakin masyarakat itu berobah,
semakin besarlah konfliknya itu.
Belum pernah
masyarakat begitu cepat robahnya sebagai di akhir abad yang
kesembilanbelas di permulaan abad yang keduapuluh ini. Sejak orang
mendapatkan mesin-uap di abad yang lalu, maka roman-muka dunia
berobahlah dengan kecepatan kilat dari hari ke hari. Mesin-uap diikuti
oleh mesin-minyak, oleh electriciteit, oleh kapal-udara, oleh radio,
oleh kapalkapal-selam, oleh tilpun dan telegraf, oleh televisi, oleh
mobil dan mesin-tulis, oleh gas racun dan sinar yang dapat membakar. Di
dalam limapuluh tahun sahaja roman-muka dunia, lebih berobah daripada
di dalam limaratus tahun yang terdahulu. Di dalam limapuluh tahun
inipun sejarah-dunia seakan-akan melompati jarak yang biasanya dilalui
sejarah itu di dalam limaratus tahun. Masyarakat seakan-akan bersayap
kilat.
Tetapi pengertian tentang syari’at
seakan-akan tidak bersayap, seakan-akan tidak berkaki, – seakan-akan
tinggal beku, kalau umpamanya tidak selalu dihantam bangun oleh
kekuatan-kekuatan-muda yang selalu mengentrok-entrokkan dia, mengajak
dia kepada “rethinking of Islam” di waktu yang akhir-akhir ini.
Belum pernah dia ada konflik yang begitu besar antara masyarakat dan
pengertian syari’at, seperti di zaman yang akhir-akhir ini.
Belum pernah Islam menghadapi krisis begitu haibat, sebagai di zaman yang akhir-akhir ini. “Islam pada saat ini,” - begitulah Prof. Tor Andrea menulis di dalam sebuah majalah -, “Islam pada saat ini adalah sedang menjalani “ujian-apinya” sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia alah, ia akan merosot ke tingkatan yang kedua buat selama-lamanya”.
Ya,
dulu “zaman Madinah”, – kini zaman 1940. Di dalam ciptaan kita
nampaklah Nabi duduk dengan sahabat-sahabatnya di dalam rumahnya. Hawa
sedang panas terik, tidak ada kipas listrik yang dapat menyegarkan
udara, tidak ada es yang dapat menyejukkan kerongkongan, Nabi tidak
duduk di tempat penerimaan tamu yang biasa, tetapi bersandarlah Ia
kepada sebatang puhun kurma tidak jauh dari rumahnya itu.
Wajah
mukanya yang berseri-seri itu nampak makin sedaplah karena rambutnya
yang berombak-ombak dan panjang, tersisir rapih ke belakang, sampai
setinggi pundaknya. Sorot matanya yang indah itu seakan-akan “mimpi”, –
seperti memandang kesatu tempat yang jauh sekali dari alam yang fana
ini, melayang-layang di satu alam-gaib yang hanya dikenali Tuhan.
Maka
datanglah orang-orang tamunya, orang-orang Madinah atau luar Madinah,
yang sudah masuk Islam atau yang mau masuk Islam. Mereka semuanya
sederhana, semuanya membawa sifatnya zaman yang kuno itu. Rambutnya
panjang-panjang, ada yang sudah sopan, ada yang belum sopan. Ada yang
membawa panah, ada yang mendukung anak, ada yang jalan kaki, ada yang
naik onta, ada yang setengah telanjang. Mereka datanglah minta
keterangan dari hal pelbagai masalah agama, atau minta petunjuk
ditentang pelbagai masalah dunia sehari-hari. Ada yang menanyakan
urusan ontanya,
ada yang menanyakan urusan pemburuan, ada yang
mengadukan hal pencurian kambing, ada yang minta obat, ada yang minta
didamaikan perselisihannya dengan isteri di rumah.
Tetapi
tidak seorangpun menanyakan boleh tidaknya menonton bioskop, boleh
tidaknya mendirikan bank, boleh tidaknya nikah dengan perantaraan radio,
tidak seorangpun membicarakan hal mobil atau bensin atau obligasi bank
atau telegraf atau kapal-udara atau gadis menjadi dokter …
Nabi
mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu dengan tenang dan
sabar, dan mengasihlah kepada masing-masing penanya jawabnya dengan
kata-kata yang menuju terus ke dalam rokh-semangatnya semua yang hadir. Di sinilah syari’atul Islam tentang masyarakat lahir kedunia, di sinilah buaian wet kemasyarakatan Islam yang nanti akan dibawa oleh zaman turun-temurun, melintasi batasnya waktu dan batasnya negeri dan samudra.
Di sinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak sebagai wetgever, dengan pimpinannya Tuhan, yang kadang-kadang langsung mengasih pimpinannya itu dengan ilham dan wahyu. Wet ini
harus cocok dan mengasih kepuasan kepada masyarakat di waktu itu, dan
cukup “karat”, – cukup elastis, cukup supel, – agar dapat tetap dipakai
sebagai wet buat zaman-zaman di kelak kemudian hari. Sebab Nabi, di
dalam maha-kebijaksanaannya itu insyaflah, bahwa Ia sebenarnya tidak
mengasih jawaban kepada si Umar atau si Zainab yang duduk di hadapannya
di bawah puhun kurma pada saat itu sahaja, – Ia insyaf, bahwa Ia
sebenarnya mengasih jawaban kepada Seluruh Peri- kemanusiaan.
Dan
seluruh peri kemanusiaan, bukan sahaja dari zamannya Nabi sendiri,
tetapi juga seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad yang kemudian, abad
kesepuluh, abad keduapuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, kelimapuluh dan
abad-abad yang masih kemudian-kemudian : Lagi yang masyarakatnya
sifatnya lain, susunannya lain, kebutuhannya lain, hukum perkembangannya
lain.
Maka di dalam maha-kebijaksanaan Nabi itu, pada
saat Ia mengasih jawaban kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun
kurma hampir seribu empat ratus tahun yang lalu itu, Ia adalah juga
mengasih jawaban kepada kita. Kita, yang hidup ditahun 1940! Kita, yang
hajat kepada radio dan listrik, kepada sistim politik yang modern dan
hukum-hukum ekonomi yang modern, kepada kapal-udara dan telegraf, kepada
bioskop dan universitas! Kita, yang alat-alat penyenangkan hidup kita
berlipat-lipat ganda melebihi jumlah dan kwaliteitnya alat-alat hidup
si Umar dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, yang
masalah-masalah hidup kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih
berbelit-belit, daripada si Umar dan si Zainab itu. Kita yang
segala-galanya lain dari si Umar dan si Zainab itu.
Ya, juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala ucapan-ucapan Muhammad tentang hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat minimum, yakni tuntutan-tuntutan “paling sedikitnya”, dan
bukan tuntutan-tuntutan yang “musti presis begitu”, bukan
tuntutantuntutan yang mutlak. Maka oleh karena itulah Muhammad bersabda
pula, bahwa ditentang urusan dunia “kamulah lebih mengetahui”.
Halide Edib Hanum kira-kira limabelas tahun yang lalu pernah menulis satu artikel di dalam surat-surat-bulanan “Asia”. Yang antaranya ada berisi kalimat: “Di dalam urusan ibadat, maka Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi di dalam urusan yang lain, di dalam Ia punya sistim masyarakat, Ia, sebagai seorang wetgever yang jauh penglihatan, adalah mengasih hukum-hukum yang sebenarnya “liberal”. Yang membuat hukum-hukum masyarakat itu menjadi sempit dan menyekek nafas ialah consensus ijma’ ulama.”
Renungkanlah
perkataan Halide Edib Hanum ini. Hakekatnya tidak berbedaan dengan
perkataan Sajid Amir All tentang “kekaretan” wet-wet Islam itu, tidak
berbedaan dengan pendapatnya ahli-tarikh-ahli-tarikh yang kesohor pula,
bahwa yang membuat agama menjadi satu kekuasaan reaksioner yang
menghambat kemajuan masyarakat manusia itu, bukanlah pembikin agama
itu, bukanlah yang mendirikan agama itu, tetapi ialah ijma’nya
ulama-ulama yang terkurung di dalam tradisi-pikiran ijma’-ijma’ yang
sediakala.
Maka jikalau kita, di dalam abad keduapuluh
ini, tidak bisa mengunyah dengan kita punya akal apa yang dikatakan kita
punya oleh Nabi kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma
hampir seribu empat ratus tahun,- jikalau kita tidak bisa mencernakan
dengan akal apa yang disabdakan kepada si Umar dan si Zainab itu di atas
basisnya perbandingan-perbandingan abad keduapuluh dan
kebutuhan-kebutuhan abad keduapuluh, – maka janganlah kita ada harapan
menguasai dunia, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala
sendiri di dalam surat-surat ayat 29. Janganlah kita ada pengiraan,
bahwa kita mewarisi pusaka Muhammad, sebab yang sebenarnya kita warisi
hanyalah pusaka ulama-ulama faqih yang sediakala sahaja.
Di dalam penutup saya punya artikel tentang “Memudakan Pengertian Islam”saya sudah peringatkan pembaca, bahwa segala hal itu boleh asal tidak nyata dilarang.
Ambillah
kesempatan tentang bolehnya segala hal ini yang tak terlarang itu,
agar supaya kita bisa secepat-cepatnja mengejar zaman yang telah jauh
meninggalkan kita itu. Dari tempat-tempat-interniran saya yang
terdahulu, dulu pernah saya serukan via tuan A. Hassan dari Persatuan
Islam, di dalam risalah kecil “Surat-surat Islam dari Endeh”:
“Kita
tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak
tetap, tidak “mati”, – tetapi hidup mengalir, berobah senantiasa, maju,
dinamis, ber-evolusi. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah
menjadikan urusan dunia, menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan
dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram
atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar
sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan
Barat – kafir; radio dan kedokteran – kafir; sendok dan garpu dan kursi –
kafir; tulisan Latin – kafir; yang bergaulan dengan bangsa yang bukan
bangsa Islam-pun – kafir!
Padahal apa,- apa yang kita
namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar-kobar, bukan Amal Islam
yang mengagumkan, tetapi … dupa dan karma dan jubah dan celak mata!
Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa
yang matanya dicelak dan jubalmya panjang dan menggenggam tasbih yang
selalu berputar, – dia, dialah yang kita namakan Islam.
Astagafirullah,
inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan
dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan
dan ke-uptodate-an? Yang mau tinggal mesum sahaja, tinggal kuno sahaja,
tinggal terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder
sendok” sahaja, seperti di zaman Nabi-nabi.
Islam is progress, - Islam itu kemajuan, begitulah
telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu.
Kemajuan karena fardhu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan
karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batasnya zaman. Progress berarti barang baru, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang
yang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, ciptaan baru,
creation baru,- bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang
yang lama.
Di dalam politik Islam-pun orang
tidak boleh mengcopy sahaja barang-barang yang lama, tidak boleh mau
mengulangi sahaja segala sistim-sistimnya zaman “khalifah-khalifah yang
‘besar”. Kenapa orang-orang Islam di sini selamanya menganjurkan
political system “seperti di zamannya khalifah-khalifah besar” itu?
Tidakkah
di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu
peri-kemanusiaan mendapatkan sistim-sistim baru yang lebih sempurna,
lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman
sendiri menjelmakan sistim-sistim baru yang cocok dengan keperluannya, –
cocok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apinya zaman
“khalifah-khalifah yang besar” itu?
Akh, lupakah
kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang
“menganggitkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dari barang yang
juga kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunahnya Rasul?
Tetapi
apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan
apinya, bukan nyalanya, bukan! Abunya, debunya, akh ya, asapnya! Abunya
yang berupa celak mata dan sorban, abunya yang menyintai kemenyan dan
tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam-muluk dan Islam
ibadat-zonder-taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil
sahaja,- tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang
satu keujung zaman yang lain.”
Begitulah saya punya seruan dari Endeh. Marilah kita camkan di dalam kita punya akal dan perasaan, bahwa kini bukan masyarakat onta, tetapi masyarakat kapal-udara. Hanya
dengan begitulah kita dapat menangkap inti arti yang sebenarnya dari
warta Nabi yang mauludnya kita rayakan ini hari. Hanya dengan begitulah
kita dapat menghormati Dia di dalam artinya penghormatan yang hormat
sehormat-hormatnya. Hanya dengan begitulah kita dengan sebenar-benarnya
boleh menamakan diri kita umat Muhammad, dan bukan umat kaum faqih atau
umat kaum ulama.
Pada suatu hari saya punya
anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya punya anak
Ratna Juami berteriak: “Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam
panci!” Saya menjawab: “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa
kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”
Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya: “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?”
Saya
menjawab: “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu
itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Muka
Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang
seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan
besar.
Maha-Besarlah Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi yang Ia suruh!
Tulisan Bung Karno di“Panji Islam”, 1940
Tidak ada komentar:
Posting Komentar